Dalam satu tahun terakhir, penjualan antibiotik di Indonesia menembus nilai lebih dari Rp 10 Triliun. Dilansir dari data penjualan antibiotik yang direkam oleh lembaga riset informasi dan teknologi kesehatan IQVIA, tercatat penjualan antibiotik di Indonesia pada tahun 2018 mencapai Rp 8,9 triliun, lalu mengalami penurunan di tahun 2020 menjadi Rp 7,9 triliun. Kendati demikian, tren penjualan antibiotik mengalami peningkatan di tahun berikutnya menjadi Rp 9,4 triliun. Tren ini terus berlanjut hingga pada tahun 2022, penjualan menembus angka transaksi senilai Rp 10,4 triliun. Menurut Senior Principal IQVIA Erwin Widjaja, di antara penjualan golongan obat resep pada tahun 2022, antibiotik memiliki persentase penjualan tertinggi hingga mencapai 12,12 persen. Nilai tersebut berasal dari penjualan antibiotik melalui lewat resep dokter ataupun yang dijual bebas di apotek, lokapasar, dan aplikasi telemedisin.
Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi atau mencegah infeksi karena bakteri. Pasien yang dapat mengonsumsi antibiotik telah didiagnosa dokter mengalami infeksi karena bakteri, baik infeksi primer maupun sekunder, atau untuk tujuan pencegahan (profilaksis) pada kondisi tertentu, misalnya pasien yang menjalani tindakan pembedahan atau pencabutan gigi.
Sebagai obat keras, antibiotik memiliki logo khusus berbentuk lingkaran merah dengan simbol K di dalamnya. Antibiotik hanya dapat diberikan melalui resep dokter dan diperoleh di apotek, termasuk apotek yang bekerjasama dengan layanan telemedisin, atau layanan farmasi di rumah sakit. Penyerahan antibiotik harus dilakukan oleh apoteker yang bertanggung jawab di apotek. Membelinya di toko obat atau lokapasar adalah hal yang tidak dibenarkan karena sarana tersebut bukan layanan farmasi dengan apoteker sebagai penanggung jawabnya.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan resep dokter hanya akan membuat pasien lebih lama untuk sembuh karena penyebab utama penyakitnya bukan bakteri. Tidak hanya itu, resistensi bakteri juga menjadi akibat dari kesalahan konsumsi antibiotik sehingga penggunaan antibiotik dan obat yang lain menjadi tidak efektif dan harus ditingkatkan.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Indonesia dan Pakar Farmasi di bidang Klinis Prof. apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D ketika diwawancarai menyampaikan, perlu dilakukan analisa terhadap tempat diperolehnya antibiotik tersebut. Apabila RS menjadi sumber belanja terbesar, pengendalian peresepan dokter harus sesuai dengan indikator rasionalitas peresepan antibiotik dengan diagnosa yang jelas dan berdasarkan pola penyakit yang ada. Di sisi lain, peran PPRA (Program Pengendalian Resistensi Antimikroba) dan apoteker di RS harus dioptimalkan.
Foto: Prof. apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D (Guru Besar Fakultas Farmasi UI)
Sementara itu, apabila sumber belanja terbesar berasal dari apotek, penyerahan antibiotik perlu dipastikan apakah dengan atau tanpa resep dokter. Apoteker sebagai perpanjangan tangan dokter memiliki peran penting dalam menilai kesesuaian peresepan, memberikan layanan informasi dan edukasi obat pada pasien, serta memantau efektivitas dan keamanan pasien.
Lebih lanjut, Prof. Rani menyampaikan bahwa masyarakat harus sadar akan adanya ancaman resistensi antibiotik. Berdasarkan kajian WHO, angka kematian akibat resistensi antibiotik sampai tahun 2014 sekitar 700.000 orang per tahun. Dengan cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi akibat mikroorganisme resisten, pada tahun 2050 diperkirakan kematian akibat resistensi antimikroba lebih besar dibanding kematian akibat kanker. Sementara itu, penelitian untuk menemukan antibiotik baru selama lebih dari 60 tahun belum berhasil menemukan antibiotik yang dapat mengatasi bakteri multiresisten. Bayangkan jika di masa depan terjadi pandemi infeksi bakteri multiresisten. Situasinya akan mirip dengan pandemi COVID-19 lalu, di mana tidak ada antibiotik yang efektif untuk mengatasinya. Hal ini akan menjadi bencana kesehatan yang sangat serius.
Prof. Rani menuturkan bahwa peningkatan penjualan antibiotik dapat dimaklumi jika sebanding dengan peningkatan wabah penyakit infeksi yang membutuhkan antibiotik. Penjualan yang tidak wajar kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakpahaman dan kelalaian pasien dan tenaga kesehatan, yang berakibat pada penggunaan antibiotik secara tidak rasional. Contohnya antibiotik diresepkan pada infeksi lain yang bukan karena bakteri; penyakit infeksi yang tidak berat, namun diberikan reserve antibiotic; dan peresepan antibiotik yang tidak sesuai pedoman penatalaksanaan klinis. Pengawasan ketat pada rantai distribusi antibiotik sangat diperlukan untuk mencegah adanya penyalahgunaan.
Pasalnya, penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol, baik dalam jumlah maupun jenisnya, dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Hal ini berarti antibiotik tidak lagi manjur untuk melawan bakteri, karena bakteri telah mengembangkan kekebalan. Jika penggunaan antibiotik tidak tepat dan tidak terkendali, bakteri akan terus beradaptasi dan menjadi semakin kebal. Hal ini dapat membahayakan pasien karena antibiotik yang seharusnya dapat menyembuhkan penyakit menjadi tidak efektif. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menekan penjualan dan penggunaan antibiotik di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rani merekomendasikan agar edukasi dan peringatan terhadap dokter yang melanggar perlu ditingkatkan sebagai bentuk pengendalian perilaku peresepan antibiotik. Peran PPRA di RS juga turut dihadirkan dan dioptimalkan. Selain itu, apoteker penanggung jawab apotek wajib mematuhi aturan pemerintah dan perlu peringatan tegas apabila ada pelanggaran. Ketegasan bahwa antibiotik hanya bisa didapat dengan resep dokter di layanan Farmasi resmi juga perlu ditingkatkan. Hal tersebut harus sejalan dengan pemantauan rantai distribusi pasokan antibiotik dari distributor yang hanya dapat disalurkan ke apotek dan RS. Menurutnya, riset penemuan antibiotik baru, terutama untuk bakteri multiresisten juga dapat diprioritaskan untuk menjawab tantangan resistensi antibiotik.