Pakar dari FFUI Menjawab Isu Risiko Interaksi Obat pada Penderita COVID-19

Pakar dari FFUI Menjawab Isu Risiko Interaksi Obat pada Penderita COVID-19

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) mengadakan virtual talkshow yang bertajuk “Bertemu Pakar untuk Menjawab Bagaimana Risiko Interaksi Obat pada Penderita COVID-19” pada Sabtu (24/07/2021). FFUI menghadirkan dua Guru Besar yang merupakan Pakar Bidang Farmasi Klinik, yaitu Prof. Dr. apt. Retnosari Andrajati, MS., serta Pakar Bioanalisis, yaitu Prof. Dr. apt. Yahdiana Harahap, M.Si. Talkshow dimoderasi oleh apt. Nadia Farhanah Syafhan, MSi., Ph.D yang merupakan Kepala Laboratorium Farmasi Klinik dan Farmasi Sosial FFUI.

Pemilihan tema pada talkshow kali ini dilatarbelakangi oleh maraknya kontroversi mengenai efek samping interaksi obat yang terlalu banyak diberikan kepada pasien COVID-19. Masyarakat awam mungkin tidak banyak yang memahami definisi dari interaksi obat itu sendiri. “Interaksi obat berarti ada interaksi antara lebih dari satu obat maka dia bisa terjadi sebuah interaksi. Ada kaitan antara satu obat dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Pengaruhnya bisa baik, bisa juga kurang baik. Interaksi juga bisa terjadi antara obat dengan makanan atau dengan minuman yang kita konsumsi”, ujar Prof Retno.

Lebih lanjut, Prof Yahdiana menjelaskan bahwa risiko interaksi obat juga dapat terjadi melalui mekanisme farmasetika, farmakodinamik atau farmakokinetik. Selain itu, Prof Yahdiana juga menambahkan, “Interaksi juga dapat terjadi antara obat dengan herbal dan juga dengan penyakit”.

Lalu, apakah interaksi obat akan selalu terjadi?

“Interaksi obat ini tidak selalu terjadi, dan tidak semua obat yang dikonsumsi secara bersamaan terjadi interaksi. Dan interaksi ini bisa juga tidak selalu negatif, bisa juga positif. Ada obat yang dari pabrik memang sudah digabungkan karena memang ada obat yang diberikan bersamaan justru akan memberikan dampak positif”, jawab Prof Retno.

Prof Yahdiana mengungkapkan bahwa interaksi obat yang terjadi akan berbeda tiap individu. “Interaksi obat bisa berbeda-beda dampaknya antar golongan etnis terkait gen dari ras tersebut atau yang biasa disebut pengaruh farmakogenomik. Karakter metabolisme terdiri dari poor/slow dan rapid metabolizer. Misal ada etnis tertentu yang memiliki metabolisme cepat yang dapat mempengaruhi efek obat yang diberikan”, ujar Prof Yahdiana.

Tenaga kesehatan akan melakukan pencegahan pemberian obat yang akan berinteraksi bila risikonya lebih besar dari manfaatnya. Di Rumah Sakit, selalu dilakukan pemantauan terapi obat oleh Dokter, Ners, Apoteker untuk mengawasi efek negatif dan efek positif (efikasi) obat. Bila ditemukan masalah maka akan dievaluasi dan ditangani lebih lanjut.

Kemudian, yang perlu kita ketahui, bagaimana cara kita mengetahui adanya interaksi obat? Apakah ada data atau informasi yang dapat kita jadikan rujukan?

Sumber rujukan untuk melihat risiko interaksi obat dapat menggunakan berbagai sumber. Sumber paling sederhana adalah buku MIMS dan ISO. Untuk tenaga kesehatan biasanya akan melihat di sumber monografi obat, sumber database obat. Tautan website www.covid19-druginteractions.org dapat menjadi salah satu sumber untuk melihat data interaksi obat COVID-19.

Selain itu, di komunitas, pembelian obat dari Apotek akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berkonsultasi dengan Apoteker di Apotek untuk berkonsultasi terkait obat-obatan yang digunakannya sehingga dapat menghindari risiko interaksi obat.

Risiko penggunaan obat yang tidak diarahkan atau tidak diawasi oleh Dokter dan Apoteker justru yang akan membahayakan kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, seharusnya penggunaan obat termasuk obat COVID-19 harus dengan arahan tenaga Dokter dan Apoteker.

Diantara obat-obatan standar COVID saat ini tidak ada interaksi satu sama lain. Namun memang ada interaksi obat dengan obat lainnya yang mungkin diberikan untuk mengobati komorbid. Hal tersebut harus dilakukan pengecekan oleh tenaga kesehatan.