Peran Apoteker Dalam Penjaminan Mutu Obat Generik Melalui Studi Bioekivalensi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Search
Close this search box.

Peran Apoteker Dalam Penjaminan Mutu Obat Generik Melalui Studi Bioekivalensi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Pada peringatan Dies Natalis Fakultas Farmasi UI tanggal 30 November 2017 lalu di Auditorium Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok, diselenggarakan Orasi Ilmiah yang disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Farmasi UI yaitu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. Pada kesempatan tersebut Prof. Diana (begitu sapaan akrabnya) menyampaikan orasi dengan tema “Peran Apoteker Dalam Penjaminan Mutu Obat Generik Melalui Studi Bioekivalensi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)”. Dalam orasi nya Prof. Diana memaparkan, pada pelaksanaan sistem JKN di Indonesia dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS kesehatan) yang bertanggung jawab memastikan berjalannya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai peserta jaminan (Departemen Kesehatan, 2011). Berlakunya jaminan kesehatan secara nasional adalah akses untuk mengamankan masyarakat agar mendapatkan pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitiatif dengan biaya terjangkau.

Salah satu tenaga profesional kesehatan yang mempunyai peran penting dalam era JKN ini adalah apoteker. Menurut PP 51 Tahun 2009 dan UU Kesehatan Nomor 108 Tahun 2009 dengan jelas mengatur fungsi dan peranan apoteker dalam dunia keseharan. Peran Apoteker pada masa JKN ini menjadi sangat strategis dalam sistem pelayanan kesehatan maupun sistem administrasi kesehatan. Apoteker dengan perannya sebagai verifikator resep sekaligus sebagai pemberi informasi obat tentunya harus bisa meyakinkan bahwa obat yang diberikan mempunyai mutu, efikasi, dan keamanan yang baik. Seperti kita ketahui obat yang digunakan dalam program BPJS adalah obat generik. Prof. Diana juga menambahkan, selama ini ada persepsi di masyarakat bahwa obat generik merupakan obat murahan yang kurang khasiatnya dan biasa diberikan kepada pasien kurang mampu. Sehingga timbul kesimpulan di benak masrakat bahwa obat yang diberikan kepada pasien BPJS dengan pasien umum (non-BPJS) berbeda dengan alasana obat BPJS lambat reaksinya dan kurang ampuh dan sebaliknya obat untuk pasien umum menggunakan obat paten yang cepat reaksinya dan lebih ampuh. Pernyataan dan rumor tersebut sama sekali tidak benar, untuk itu perlu diberi penjelasan kepada masyarakat tentang obat paten, obat generik bermerek dan obat generik.

Obat Paten (innovator/originator) adalah obat dengan zat aktif yang pertama kali ditemukan (new chemical entity = NCE) oleh industri Farmasi. Obat ini dilindungi oleh hak paten sampai masa patennya habis (expired), dan membutuhkan penilaian mengenai efikasi, keamanan, dan mutu secara lengkap (BPOM, 2004) sebelum digunakan oleh pasien. Obat generik adalah apabila obat paten telah habis masa patennya (off paten), maka obat dengan Active Pharmaceutical Ingredients (API) yang sama dengan obat paten dapat diproduksi oleh semua perusahaan Farmasi tanpa harus membayar royalti. Obat generik biasanya menggunakan tata nama kimia resmi dari Farmakope atau berhubungan dengan nama obat/nama zat kimia internasional yang sudah dibakukan (International Nonproprietary Name). Ada dua jenis obat generik yaitu generik bermerek (OGM) yang lebih umum disebut obat bermerek dan obat generic berlogo (OGB) yang lebih umum disebut obat generik saja.

Meski harga obat generik lebih murah namun sebenarnya kualitasnya sama dengan obat generik bermerek dan obat paten. Obat generik lebih murah karena tidak perlu lagi melalkukan riset yang mendalam sedangkan seperti diketahui semua, harga obat menjadi mahal salah satunya disebabkan karena riset obat memang membutuhkan wakyu yang lama dengan biaya sangat besar.

Kegiatan Uji Bioekivalensi dilakukan karena alasan biaya kesehatan yang semakin hari semakin tinggi. Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi Farmasetik atau merupakan alternative Farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama dalam hal efikasi maupun keamanan. Pelaksanaan uji BE harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) termasuk harus lolos Kaji Erik dan mendapat informed consent dari setiap subyek sebelum dilakukan seleksi serta harus mendapat persetujuan dari Badan POM (Persetujuan Pelaksanaan Uji Bioekivalensi/PPUB). Obat uji (generik) yang digunakan dalam uji BE untuk tujuan registrasi harus identik dengan obat yang akan dipasarkan.

Apabila obat generik sudah memenuhi kriteria Uji Bioekivalensi maka bisa diasumsikan bahwa obat generik tersebut mempunyai khasiat, mutu dan keamanan yang sama dengan obat innovator sehingga dapat dipertukarkan (interchangeable). Oleh karena itu tidak ada keraguan bagi pasien, masyarakat, dokter dan tenaga profesional kesehatan lainnya termasuk Apoteker untuk menggunakan obat generik dan dapat menghilangkan asumsi-asumsi yang buruk tentang obat generik yang diberikan pada program BPJS. (ADS)